Baru aja, 1 jam yang lalu, saya menyempatkan menonton TV. Ada acara yang membuatku penasaran, yaitu Termehek-Mehek di Trans-TV. Acara ini diklaim punya rating cukup tinggi. Dan sampai saat ini dianggap menjadi “reality show” dengan share penonton cukup tinggi juga. Tapi ada kesan bahwa acara tersebut tidak realistis. Hal ini dibuktikan dengan suara dari target yang begitu jelas terdengar. Berati si target diberi microphone. Begitu juga pencahayaannya. Dan mimik wajah dari para pelaku tidak realistis. Artinya acara ini bukan reality show, tapi “scenario show”.

Dibawah ini saya lampirkan sebuah analisa dari nusantaranews tentang Termehek-Mehek.

———

Termeheh-Mehek : Reality Show = Liar Show?
Yah, itulah judul yang tepat untuk acara-acara yang berembel “reality show” yang marak di stasiun TV swasta Indonesia baru-baru ini. Karena ratingnya bagus, maka pengelola stasiun TV seperti dikejar setan untuk terus memproduksi dan menayangkan “reality show”. Perlu diingat bahwa reality show sesungguhnya merupakan tayangan dari kisah nyata, tanpa rekayasa dan skenario.

Namun, pada kenyataan beberapa tayangan dengan embel ‘reality show’ jelas merupakan skenario yang dibuat dan diperankan layaknya sinetron gaya baru. Sebut saja ‘liar show’ yang booming sejak beberapa bulan yang lalu, yakni ‘TERMEHEK-MEHEK”. Menurut saya sendiri, pada awalnya acara ini memang ‘reality show’ yang lebih cenderung menampilkan konflik keluarga. Namun, beriringnya waktu dan habisnya kisah nyata yang akan diangkat, maka producernya pun tancap gas berubah haluan 180 derajat, dari konsep “reality show” kini disetir menjadi “liar show” (kisah bohong).

Jika kita menyimak dengan telaten dan mengupas secara mendalam isi acara tersebut, terlihat bahwa acara “Termehek-Mehek” lebih banyak yang ceritanya dibuat-buat, penuh rekayasa dan sekedar mengejar rating. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada beberapa episode ‘termehek-mehek’ yang merupakan kisah nyata. Saya merasa percaya dengan dugaan saya setelah sempat menyimak episode ‘orang tuanya pemabuk”, “orang gila korban kerushan 98?, “kisah kembar”, dan masih lagi, maka secara gamplang dapat saya katakan bahwa itu hanya skenario belaka.

Berikut beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan saya:

* Kok, si objek/target/sasaran sudah didandan? Harusnya namanya reality show, tentu si objek/sasaran tidak sempat berdandan atau make-up
* Volume suara target/objek terdengar jelas dengan pihak lain. Bukankah si target diberi mikrofon juga?
* Mengapa jika si A sudah menduga ada apa si B, tidak langsung mencari sendiri bersama teman atau kerabatnya. Kenapa si A mau membeberkan aib dalam keluarganya?
* Tokoh pemerannya (objek atau subjek) rata-rata “camera face”, enak dipandang oleh penonton..
* Adegan (karena skenariotis) gak Alami. Contoh : tidak pernah terjadi kecelakaan (serempatan) saat kejar-kejaran pake mobil. Masyarakat hanya menjadi penonton ketika terjadi perkalian. Tidak ada korban yang babak belur karena berkelahi.
* Merendahkan martabat kepolisian ketika terjadi kerusuhan ataupun tersangka kejahatan. Kok polisi gak ada, padahal gak jauh dari tempat kejadian (atau shooting?) ada kantor polisi?
* Kisahnya tampak tidak masuk akal. Dan selalu memiliki topik yang tidak jauh berbeda. Menimbulkan konflik, ekspresi kesedihan, hingga klimak dengan “pertempuran sengit” yang membuat mata penonton tidak berkedip.

Nah, jika ini benar bahwa hanyalah skenario, apa sih salahnya mereka menampilkan tagline bahwa tayangan ini hanyalah skenario, bukan kisah nyata. Itu jauh lebih elegan, jangan hanya mikir uang dan rating donk. Hal kedua, kisah-kisah yang diangkat pun selalu membuka aib dan kelemahan pribadi manusia. Bagaimana Indonesia bisa bangkit kalo sering disuguhi dengan materi negatif?

Selain termehek-mehek, beberapa acara dengan tajuk ‘reality show’ yang teridentifikasi ‘liar show’ adalah “Playboy Kabel”, “Orang Ketiga”, “Cinta Patut Dipuji” dan masih banyak lagi. Meskipun ini sekedar kecurigaan, namun tayangan-tayangan ini patut mendapat perhatian dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator penyiaran Indonesia, menyelidik maraknya siaran yang bertajuk “reality show” namun sesunguhnya hanyalah skenario penuh kebohongan. Jelas hal ini harus ditindak secara hukum mengingat ini merupakan kebohongan publik yang terstruktur dan sistematis.

Jika keluhan kita tidak didengar, lebih baik kita boikot stasiun TV yang masih menayangkan acara-acara yang penuh kebohongan sismatis. Dan tidak kalah pentingnya, kita boikot juga produk sponsor pada acara yang penuh kebohongan. Sehingga lambat laun, sponsor pun memikir berkali-kali sebelum mengiklankan produknya, dan akhirnya secara bertahap, program ‘liar show’ akan mati dengan sendirinya.